Sebuah kisah penuh hikmah,yang dikutip dan diringkas dari kitab Qashash Muatstsirah Li asy-Syabab karya Ahmad bin Salim Baduwailan... (dengan sedikit perubahan gaya bahasa)
Ketika
itu, Khalid sedang duduk di ruang kerjanya dalam keadaan gelisah dan
sedih. Melihat keadaan Khalid, rekan kerjanya merasa prihatin
terhadapnya. Temannya meminta Khalid agar menceritakan masalahnya,
sehingga ia mungkin bisa memberi solusi dari masalahnya.
Khalid
terdiam sejenak, dan berkata pada temannya, “terima kasih atas
keprihatinanmu terhadapku, aku memang membutuhkan orang untuk
mencurahkan masalah yang sedang kurasakan. Dan aku berharap ada orang
yang dapat membantu menyelesaikan masalah ini”.
“Seperti
yang telah kamu ketahui bahwa aku ini telah menikah sejak delapan bulan
yang lalu. Di rumah kami hanya tinggal berdua. Dan masalahnya, adikku
yang paling bungsu bernama Hammad dan telah berusia 20 tahun, dan saat
ini telah menyelesaikan sekolahnya di jenjang SMU. Mulai pekan depan ia
akan tinggal bersama kami. Karena ia diterima di salah satu perguruan
tinggi di kota ini. Kedua orangtuaku sangat mengharapkan agar adikku itu
bisa tinggal bersama kami dari pada ia tinggal diluar. Kedua orangtuaku
sangat khawatir jika ia tidak bisa menjaga dirinya jika tinggal diluar.
Tapi
aku sangat menolak permintaan itu, karena ia telah baligh dan
keberadaannya dirumahku merupakan ancaman bagiku. Aku tidak ingin
menyembunyikan rahasiaku padamu, aku dulu pernah bertanya kepada salah
seorang Syaikh tentang masalah ini, dan ia melarangku membolehkan siapa
pun meski saudaraku untuk tinggal bersamaku dan istriku dalam satu
rumah. Dan beliau menyebutkan Hadits Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam
“Ipar itu adalah maut”
Artinya
yang sangat berbahaya bagi seorang istri adalah keluarga dari suami
seperti saudara laki-laki, paman, atau keponakan laki-laki”.
Khalid terdiam, sambil menenangkan dirinya sejenak. Kemudian melanjutkan,
“ketika aku menjelaskan masalah ini pada orangtuaku, dan aku bersumpah dengan nama Allah dihadapan mereka bahwa aku tidak su’uzhan
kepada adikku. Namun mereka langsung marah dan menjelek-jelekkan aku
dikeluarga dan mengatakan bahwa aku adalah anak durhaka. Tapi ayahku
juga bersumpah dengan mengatakan, “Demi Allah jika Hammad tidak tinggal
bersamamu, sungguh aku dan ibumu akan marah kepadamu sampai kami
meninggal dunia. Kami berlepas diri darimu di dunia dan di akhirat
nanti”.
Khalid menundukkan pandangannya seraya berkata,
“sekarang aku bingung dan bimbang. Di satu sisi aku ingin berbakti pada
orangtuaku. Di sisi lain aku tidak ingin mengorbankan kebahagiaan
keluargaku. Bagaimana nasehatmu padaku?”
Temannya
menjawab, “apakah kamu tidak tahu bahwa Ridho Allah tergantung Ridho
kedua orang tua, dan murka-Nya tergantung dari murka orang tua? Solusi
masalah ini sudah jelas. Sekarang aku bertanya padamu, mengapa kamu
mesti menuduh orang baik seperti adikmu itu tanpa bukti yang nyata?
Lupakah kamu dengan firman Allah “Wahai orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah
dosa” (Al-Hujurat : 12). Beritahukan padaku, bukankah engkau percaya terhadap istrimu dan terhadap adikmu?”
Khalid tiba-tiba memotong, “aku percaya pada mereka. Tapi...”
Temannya
kembali memotong, “kamu kembali ragu.. berprasangka buruk dan
berandai-andai. Khalid, pecayalah terhadap ucapanku dan terhadap
adikmu.. sekarang aku tanyakan padamu, jika adikmu menikah, apakah
terlintas dipikiranmu untuk berbuat yang tidak-tidak pada istrinya? Aku
pikir jawabannya sudah jelas padamu. Buatkanlah adikmu ruangan khusus
yang terpisah dari ruang-ruang lainnya”.
Khalid mulai
yakin dan menerima nasehat temannya. Beberapa hari kemudian Hammad telah
tiba dibandara, dan Kholid menjemputnya dengan senang hati dan
mengantarkan adiknya sampai dikamar barunya tersebut.
Dengan
izin Allah, berlalu waktu yang panjang atas keluarga bahagia itu. Empat
tahun kemudian, Khalid telah berusia 30 tahun dan telah menjadi seorang
bapak dari tiga orang anak. Dan adiknya Hammad sudah berada pada tahun
terakhir kuliahnya. Khalid berjanji agar mencarikan pekerjaan untuk
Hammad setelah ia lulus dan sampai ia menikah dan tinggal bersama
istrinya dirumah baru mereka.
Pada suatu malam, Khalid
pulang kerumahnya dengan mengendarai mobilnya. Di tengah perjalanan,
terlihat dua sosok wanita yang tidak jelas dari kejauhan. Khalid
mendekatinya dan ia mendapati perempuan tua bersama putrinya yang sedang
hamil dan mengerang kesakitan. Perempuan tua itu berkata, “ Selamatkan
kami! Tolong kami wahai tuan yang baik hati..”
Dengan
kemurahan hati, kholid pun mengantarkan mereka berdua ke rumah sakit
bersalin. Nenek itu memberitahukan pada Khalid bahwa mereka bukan
penduduk asli kota tersebut. Dan suami putrinya tersebut telah pergi
keluar kota karena suatu pekerjaan, dan tidak ada seorang pun yang bisa
membantu mereka sementara air matanya bercucuran karena melihat putrinya
yang kesakitan.
Sepanjang jalan, perempuan tua itu tak
henti-hentinya mendoakan kebaikan untuk Khalid. Dan sampailah mereka di
rumah sakit. Khalid tidak tega meninggalkan mereka sendirian di rumah
sakit. Khalid pun menunggunya di ruang tunggu pria dan menghubungi
istrinya bahwa ia agak terlambat pulang ke rumah.
Khalid
duduk dan menyandarkan punggungnya ke dinding, tak sadar ia pun sudah
tertidur. Khalid tidak tahu sudah berapa jam yang ia lalui ketika
tertidur. Namun tiba-tiba dibangunkan dengan suara teriakan dokter dan
dua orang polisi yang mendekatinya.
Perempuan tua tadi
berteriak, “ini dia! Ini dia!” sambil menunjuk ke arah Khalid. Khalid
terkejut dan bangkit dari tempat duduknya dan berkata, “apakah proses
operasinya berhasil?”
Sebelum ada yang menjawab pertanyaan Khalid, polisi mendekatinya dan berkata padanya, “Apakah kamu yang bernama Khalid?”.
“Ya, benar”.
“kami ingin berbincang-bincang denganmu lima menit saja di sebuah ruangan khusus”.
Mereka
masuk ke ruangan direktur dan menutup pintunya. Di tempat itu, nenek
itu berteriak-teriak, memukul wajah Khalid, dan menampar pipinya seraya
berkata, “Orang hina ini pelakunya. Aku harap kalian tidak membiarkannya
pergi dari sini. Wahai putriku, betapa malangnya nasibmu...”.
Khalid
terheran-heran dan bingung, ia tidak paham apa yang sebenarnya terjadi.
Lalu polisi berkata kepadanya, “Perempuan tua itu mengaku bahwa anda
telah merampas kehormatan putrinya. Ia hamil atas perbuatanmu. Lalu
ketika perempuan itu mengancam untuk menyebarkan berita ini dan
melaporkannya pada pihak kepolisian, maka anda berjanji akan segera
menikahinya. Tapi setelah bayinya melahirkan, anda ingin meletakkannya
disalah satu pintu masjid agar ada orang baik hati yang mengasuhnya!”.
Khalid
terperanjat mendengar perkataan itu. Jantungnya terasa seperti ditimpa
beban besar, dunia berubah menghitam di hadapan kedua matanya. Ia tidak
bisa berucap sepatah katapun hingga tubuhnya rubuh.
Kemudian,
setelah Khalid siuman. Ia melihat dua orang polisi bersamanya di dalam
ruangan itu. Seorang polisi berkata, “Wahai Khalid, beritahukan padaku
kejadian sebenarnya. Aku tidak yakin bahwa engkau yang melakukan semua
itu”.
Dengan hati yang tersayat-sayat, Khalid mengatakan,
“Wahai manusia, beginikah cara kalian membalas kebaikan?. Aku adalah
orang terhormat dan selalu menjaga kehormatan itu. Aku telah menikah dan
mempunyai tiga orang anak. Dan aku juga tinggal di lingkungan
terhormat”. Khalid tak sanggup menguasai dirinya. Air mata tak sanggup
dibendungnya lagi. Itulah air mata yang dirasakan orang yang terdzolimi.
Ketika mulai tenang, Kholid pun menceritakan kejadian sebenarnya.
Lalu,
polisi tersebut mengatakan,”aku yakin kamu akan bebas dari segala
tuduhan ini. Tapi kamu harus menunjukkan bukti bahwa kamu tidak
bersalah. Mungkin kamu hanya perlu melakukan tes DNA, apakah benar bayi
itu anakmu atau tidak.”
Kholid menjawab, “apakah anda
percaya bahwa anjing-anjing akan berbuat baik pada tuannya yang berbuat
baik padanya. Tapi kebanyakan manusia lebih hina dari anjing.”
Matahari
terbit dengan cerahnya, namun pagi itu wajah Kholid tetap tidak bisa
menyembunyikan kecemasannya, dan segala puji bagi Allah karena dengan
nikmat-Nya hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Khalid bebas dari tuduhan
dusta itu. Khalid pun tidak bisa menahan kegembiraannya. Ia tersungkur
sujud , bersyukur kepada Allah. Pihak kepolisian pun meminta maaf kepada
Khalid. Dan nenek beserta putrinya itu dibawa ke kantor polisi untuk
diperiksa dan ditentukan hukuman atas mereka.
Sebelum
meninggalkan rumah sakit, Khalid pamit kepada dokter spesialis yang
menangani masalahnya tersebut. Setelah diruangan dokter, kholid memberi
salam dan mendoakan dokter itu dengan kebaikan. Tapi, tiba-tiba dokter
itu bertanya pada Khalid, “jika anda punya kesempatan, aku ingin
berbicara denganmu beberapa menit saja”.
Dokter itu
terlihat bingung. Lalu muncul keberaniannya dan berkata, “Sebenarnya,
Wahai Khalid, sepanjang pemeriksaan yang kami lakukan, aku ragu bahwa
anda mengidap suatu penyakit! Namun aku tidak begitu yakin dengan
ucapanku. Karenanya, aku ingin melakukan pemeriksaan terhadap istri dan
anak-anakmu untuk menghilangkan keraguan ini”.
Kembali
nampak dari raut wajah Khalid katakutan dan kegelisahan, seraya berkata,
“Aku harap anda memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi. Aku ridho
dengan takdir baik dan takdir buruk Allah. Tapi yang terpenting bagiku
adalah anak-anakku yang masih kecil. Aku rela mengorbankan diriku demi
mereka. Lagi, Khalid menahan air matanya.
Dokter
menangkannya,dan berkata, “sebenarnya, aku tidak sanggup memberitahukan
sekarang, hingga aku benar-benar yakin atas masalah ini. Tapi, segera
bawa istri dan anak-anakmu ke sini..!”
Tidak perlu
menunggu lama, Khalid telah kembali membawa istri beserta anak-anaknya
ke rumah sakit. Selesailah pemeriksaan medis atas mereka. Lalu Khalid
masuk ke ruangan dokter tersebut untuk berbincang-bincang. Tiba-tiba
terdengar suara dering Handphone milik Khalid. Khalid mengangkatnya dan
berbicara sebentar.
Selesai dari pembicaraan di handphone, dokter bertanya kepada Khalid, “siapa orang yang kamu katakan padanya, ‘jangan kamu dobrak pintu rumah itu’ tadi?”
“itu
adikku, Hammad. Ia tinggal bersamaku. Kunci pintunya hilang, ia meminta
aku segera datang dan membukakan pintu”, dokter itu sedikit terkejut,
“sejak kapan ia tinggal bersama kalian?”
Khalid menjawab,
“sejak empat tahun yang lalu. Ia sedang kuliah semester akhir di sebuah
perguruan tinggi di kota ini”. Dokter itu berkata, “baiklah, bisakah
kamu bawa ia kemari untuk kami lakukan pemeriksaan medis terhadapnya,
agar kami yakin apakah penyakit ini dari keturunan atau tidak..”
Pada
waktu yang sudah ditentukan, Khalid dan adiknya, Hammad datang ke rumah
untuk melakukan pemeriksaan. Setelah melakukan pemeriksaan terhadap
Hammad, dokter meminta Khalid untuk datang ke rumah sakit lagi pada
pekan depannya. Sepekan lamanya, Khalid tidak pernah nyenyak dalam
tidurnya. Dan ia selalu dihantui rasa cemas dan kegelisahan.
Waktu
yang telah ditentukan pun tiba, Khalid kembali berangkat untuk menemui
dokter. Dokter menyambutnya dengan gembira dan menghidangkan minuman
dingin untuk menenangkan ketegangan Khalid. Dokter mulia bercerita
padanya tentang pentingnya kesabaran dalam hidup, dan berbicara tentang
ganjaran orang-orang yang bersabar dikala musibah menimpa.
Kholid
yang begitu penasaran, memotong pembicaraan,”Dokter... aku harap anda
tidak membuat saya semakin tegang dan cemas. Aku siap menerima penyakit
apa yang akan menimpa diriku. Apa yang sebenarnya terjadi padaku?”
Dokter
itu menundukkan kepalanya sedikit dan berkata, “kadangkala kenyataan
itu bisa menyakitkan, begitu keras dan pahit!! Tapi tetap harus
mengetahui dan menghadapinya! Lari darinya bukanlah jalan keluar dan
juga tidak akan bisa mengubah kenyataan”
Dokter itu diam
sejenak, lalu mengucapkan sebuah perkataan yang meremukkan dan
meluluhlantakkan hati, “Wahai Khalid, sebenarnya kamu ini mandul dan
tidak bisa mempunyai keturunan! Tiga orang anak yang engkau bawa waktu
itu bukanlah anakmu, tapi anak dari adikmu Hammad”.
Seakan
petir, perkataan itu menyambar Khalid. Lalu ia berteriak sekeras
mungkin hingga menggaung ke seluruh raungan di rumah sakit, dan akhirnya
tidak sadarkan diri. Dua pekan lamanya, Khalid terbaring di rumah sakit
dan tidak sadarkan diri. Ketika ia sadar, ia mendapati kehidupannya
telah hancur dan binasa.
Khalid pun ditimpa penyakit
lumpuh, setengah dari badannya tidak bisa digerakkan dan ingatannya
hilang karena berita memilukan itu. Ia pun dipindahkan ke rumah sakit
jiwa untuk menghabiskan sisa umurnya. Sedangkan istrinya dibawa ke
pengadilan untuk dimintai pengakuannya atas perzinahan yang
dilakukannya, lalu ditegakkan hukum rajam sampai mati atasnya.
Adiknya
Hammad berada di penjara untuk menunggu keputusan hukum yang akan
diterimanya. Sementara tiga orang anaknya dipindahkan ke panti asuhan
sosial untuk tinggal bersama dengan anak-anak terlantar dan anak yatim.
Ketetapan Allah tetap berlaku,
“Ipar adalah maut”
وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا
“Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada Sunnah (ketetapan) Allah” (Al-Ahzab : 62)
0 komentar:
Posting Komentar